Sains

Air tanah terancam oleh kekeringan dan curah hujan yang tinggi

Retakan di tanah (Hainich).

Peristiwa iklim ekstrem membahayakan kualitas dan stabilitas air tanah, ketika air hujan tidak dapat melewati proses pemurnian alami di dalam tanah. Hal ini ditunjukkan dalam analisis air tanah jangka panjang dengan menggunakan metode analisis baru, seperti yang dijelaskan dalam penelitian terbaru di “Nature Communications”. Karena miliaran orang bergantung pada air tanah yang cukup dan bersih untuk minum, memahami dampak iklim ekstrem terhadap ketahanan air di masa depan sangatlah penting.

Formasi batuan yang mengandung air tanah, disebut akuifer, biasanya diisi ulang melalui curah hujan yang merembes melalui tanah. Selama perjalanan ini, zat-zat yang ada di permukaan dikeluarkan dari air melalui penyerapan mineral tanah atau dimetabolisme oleh mikroorganisme tanah. Proses penyaringan alami ini menghasilkan sumber daya air tanah yang sangat murni. Namun, curah hujan terkadang dapat dengan cepat mengalir ke lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menghindari pemurnian dan mengangkut sejumlah besar zat terlarut dari permukaan dan lapisan tanah bagian atas ke dalam akuifer air tanah.

Hal ini terutama terjadi setelah curah hujan ekstrem dan setelah periode kekeringan. Kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan retakan besar pada tanah dan juga mengurangi penyerapan air hujan di lapisan atas tanah. Dalam kondisi seperti ini, air lebih banyak mengalir langsung ke air tanah, atau sebaliknya mengalir ke sungai, danau, dan lautan. Air tanah tidak terisi kembali secara memadai, namun juga terkontaminasi dengan zat-zat yang tidak diinginkan dan berpotensi membahayakan dari permukaan dan lapisan atas tanah. Hal ini dapat mencakup, misalnya, bahan organik, herbisida dan pestisida, produk mikroba seperti antibiotik, serta polutan lainnya.

Dalam pendekatan eksperimental baru, Simon A. Schroeter, Gerd Gleixner, dan Susan Trumbore dari Institut Biogeokimia Max Planck melakukan analisis air tanah jangka panjang di Jerman, bersama dengan tim peneliti besar dari Universitas Friedrich Schiller Jena. Mereka menggunakan deteksi bahan organik terlarut sebagai proksi kontaminan air dan mengkonfirmasi perubahan mendasar dalam stabilitas air tanah. “Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kejadian cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim telah mengubah kualitas air tanah dan dinamika pengisian ulangnya“kata peneliti pascadoktoral Simon Schroeter.

Pendekatan tidak bertarget yang baru dikembangkan

Tim peneliti mempelajari air tanah dan kondisi hidroklimatik yang terkait di tiga lokasi penelitian geologis yang berbeda di Jerman antara tahun 2014 dan 2021. Mereka menganalisis kualitas air dengan melacak ribuan entitas molekul individu dalam perjalanannya dari tanah ke air tanah. Berbeda dengan metode standar, yaitu menargetkan konsentrasi karbon organik terlarut dalam jumlah besar, pendekatan tidak bertarget yang baru dikembangkan memungkinkan metode ini mendeteksi perubahan apa pun dalam jumlah dan komposisi kimia molekul organik.

Selama analisis selama 8 tahun, para ilmuwan menemukan tren jangka panjang yang konsisten: Peningkatan jumlah zat organik yang berasal dari permukaan yang terakumulasi dalam air tanah, serta penurunan permukaan air tanah. Selain itu, mereka dapat dengan jelas mengkorelasikan peningkatan pencemaran air tanah dengan peristiwa cuaca ekstrem, khususnya dengan kekeringan pada tahun 2018. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa metode baru ini secara signifikan lebih sensitif untuk mendeteksi perubahan kualitas air tanah dibandingkan pengukuran karbon yang umum digunakan. Oleh karena itu, hal ini dapat menjadi indikator awal penurunan kualitas air tanah di masa depan. Meskipun metode ini mengandalkan molekul organik sebagai indikator kontaminasi air, kontaminan sebenarnya mungkin mencakup polutan apa pun yang terbawa dari permukaan. Analisis genomik mikroorganisme dalam air tanah kemudian dapat memberikan informasi tentang jalur degradasi yang mungkin terjadi.

Perlunya pengelolaan air yang berkelanjutan

Ketika perubahan iklim terus meningkat, para ilmuwan menyerukan peningkatan perhatian terhadap pengelolaan air tanah dan strategi mitigasi terhadap dampak hidroklimatik ekstrem. Menurunnya proses pemurnian air alami tanah memperkuat tekanan yang dihadapi masyarakat akibat berkurangnya tingkat air tanah. Investigasi terbaru memperingatkan bahwa penurunan kualitas air tanah yang disebabkan oleh iklim mungkin melebihi penurunan kualitas air tanah akibat antropogenik. Gerd Gleixner, ketua kelompok penelitian, menambahkan, “Metode kami akan membantu mengidentifikasi risiko terhadap kualitas air tanah di akuifer yang dianggap bersih dan aman digunakan di masa depan. Hasil penelitian kami menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan praktik pengelolaan air berkelanjutan untuk melindungi sumber daya penting ini.”

Studi ini merupakan bagian dari Pusat Penelitian Kolaboratif AquaDiva dari Universitas Jena, yang dipimpin oleh Kirsten Küsel, Susan Trumbore dan Kai Totsche, sebuah inisiatif interdisipliner yang berfokus pada pemahaman interaksi antara ekosistem permukaan dan bawah permukaan serta responsnya terhadap perubahan lingkungan. Dengan mengintegrasikan keahlian dari biogeokimia, hidrogeologi, dan mikrobiologi, AquaDiva bertujuan untuk mengungkap proses kompleks yang mengatur ekosistem air tanah dan ketahanannya terhadap perubahan iklim.

Source

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button